princess hour pict.
copied from: http://thelembnirwana.blogspot.com/2008_12_01_archive.html
Munculnya drama-drama asia (saya ambil drama korea sebagai contohnya) yang memenuhi layar kaca rumah saya beberapa waktu yang lalu(dan mungkin dirumah anda juga) membuat pikiran saya tergelitik untuk sedikit membandingkan drama –drama asia itu dengan beberapa sinetron yang pernah saya tonton waktu saya kecil.
Pratinjau
Perbedaan abstrak yang paling signifikan di mata saya yang seorang amatir ini adalah sebagai berikut :
1. TEMA
Tema- tema yang diambil dalam film korea adalah tema – tema yang sebenarnya umum, tapi dibuat menjadi tidak biasa. Antara film yang satu dengan film yang lain, tidak ada yang sama jalan ceritanya.
Kalau sinetron Indonesia, Tema yang diambil tidak akan jauh – jauh dari tema yang sudah ada pada film sebelumnya. Bahkan pernah ada kejadian, satu tema yang sama yang menyadur dari drama mandarin dibuat menjadi 2 buah sinetron yang ditayangkan oleh dua stasiun tv yang berbeda dan dengan aktris – aktris dan actor – actor yang berbeda pula. Seolah kehabisan ide para pembuat sinetron itu mengambil (atau meminjam-?-) ide – ide para pendahulunya.
2. Klimaks
Drama – drama korea jarang sekali mengambil banyak episode dalam satu film. Biasanya dalam satu film berisi sekitar 20 – 30 episode. Maka, mereka dengan mudah memutuskan mau dibawa kemana film tersebut berakhir. Kalaupun suatu drama korea memiliki banyak episode, hampir bisa dipastikan itu adalah sebuah film kolosal (film tentang istana – istana beserta penghuninya). Setelah film tersebut klimaks, tidak akan lama setelah itu pasti akan segera berakhir. Tapi tidak untuk sinetron Indonesia yang hampir setiap hari ada klimaks di tiap episode-nya. Sehingga sinetron itu seolah tidak akan ada habisnya. Itulah sebabnya kenapa sinetron Indonesia selalu berlanjut hingga ber season – season, misalnya season 1, 2, dst. Begitu banyaknya episode dalam suatu sinetron itu saya berpendapat bahwa mungkin saja jalan ceritanya melenceng dari tema awalnya, sehingga ceritanya tidak berkesudahan.
Dalam drama korea, pada satu cerita hanya terdapat satu klimaks. Sedangkan pada sinetron Indonesia, dalam satu cerita terdapat lebih dari satu klimaks.
3. Air Mata
Sudah bukan hal yang aneh jika kita melihat air mata dalam sebuah drama – drama semacam itu, tapi yang perlu diperhatikan adalah intensitas dari air mata yang tertumpah dalam sebuah cerita. Kita tidak perlu menghitung berapa banyak air mata yang dijatuhkan oleh para aktris dan actor itu (karena itu tidaklah mungkin). Tapi seberapa seringkah si pemeran dalam film itu menangis?
Dalam drama korea, airmata bukanlah hal utama yang ingin ditunjukkan dalam cerita. Makanya, penonton tidak bosan untuk tetap menonton, karena yang disuguhkan bukanlah hanya airmata semata. Sama halnya seperti klimaks, biasanya sang airmata hanya jatuh di akhir cerita atau saat – saat mendekati klimaks, sesedih apapun perasaan si pemeran utama, dia tidak akan dengan mudahnya meneteskan airmata. Khusunya pemeran utama pria. Maka saat si pemeran pria menangis tidak terlihat menjijikkan, karena memang factor airmata yang jarang terlihat itu membuatnya alamiah, kesedihan yang tidak dibuat – buat.
Sedangkan dalam sinetron, airmata seolah murah harganya. Si pemeran utama dengan mudahnya membuang – buang dan membanjiri wajahnya dengan airmata. Airmata memang tidak bayar, karena dihasilkan sendiri oleh tubuh kita, tapi bukankah airmata adalah sebuah wujud kesedihan mendalam, harga diri dan juga ekspresi yang tidak terkatakan?? Hal ini memberikan kesan bahwa siapa saja yang ingin menjadi artis sinetron tidak hanya harus pintar berakting, tapi juga pintar menangis, terutama pemeran utama.
tangisan isabella pict.
Kesimpulannya, sinetron harus belajar banyak dari drama – drama lain semacamnya, agar tetap eksis. Tidak hanya dikalangan ibu – ibu, tapi juga kalangan remaja dan usia sebaya. Jangan hanya membuat film dengan karakter cengeng yang bisanya hanya menangis dan pasrah.
copied from : https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi0nEDYSqKdzKLm5hr7E7n0FtOBzXFbj7orQfdWiGWY05kFn1Pm2o0fsnKTKM2Jcyr2npuuPTpH-TtJ2fZR4wt2HQJ1guFyAI8qPaRo8LsyM_Nh3GKle_4Hbmhp4VsA0TkROADYF4pKdm4/s1600/helsi-herlinda-kirana-larasati-tangisan-issabela.jpg
Kesimpulannya, sinetron harus belajar banyak dari drama – drama lain semacamnya, agar tetap eksis. Tidak hanya dikalangan ibu – ibu, tapi juga kalangan remaja dan usia sebaya. Jangan hanya membuat film dengan karakter cengeng yang bisanya hanya menangis dan pasrah.
Tidak perlu terlalu meniru jika tidak ingin dikatakan plagiat, tapi pelajari apa yang ada di dalamnya, bukan hanya yang terlihat saja. Dengan tidak menghilangkan ciri khas yang Indonesia punya, semoga pesinetronan Indonesia menjadi lebih baik.